Rabu, 10 November 2010

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR RASIONAL, KULTUR

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR RASIONAL, KULTUR
ORGANISASI dan KECUKUPAN ANGGARAN TERHADAP
KINERJA INSTANSI PEMERINTAH DAERAH


Osmad Muthaher

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG


ABSTRACT


Performance measurement is a process and a tool by which public transparency, public accountability, and public servant behavior can be promoted. Despite its appeal for improving government, performance measurement information rarely used to improve decision-making. This study will examine utilization of performance measure in local government and state (province) government in Central Of Java .Utilization process of performance measure consists of one phase, i.e. adoption phase. Each phase was affected by rational factors, Budget Slackfactors, organizational culture factors. The research finds that all rational factors, except internal requirement, have significant effect on adoption phase, whereas and cultural factors that have significant effect to adoption phase are internal interest groups and attitudes. Rational factors and Budget slack and organizational culture factors that have significant effect to are information, goal orientation,resourceces.
Keyword: Performance measure, utilization, adoption and implementation, rational factors, political and organizational culture factors























PENDAHULUAN
Pengukuran kinerja instansi pemerintah dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas, transparansi, pengelolaan organisasi dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Informasi kinerja yang dihasilkan oleh suatu sistem pengukuran kinerja ditujukan untuk keperluan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap organisasi, yaitu stakeholder internal maupun eksternal. Namun, tujuan utama pengukuran kinerja instansi adalah untuk memperbaiki pengambilan keputusan internal serta alokasi sumber daya. Sistem pengukuran kinerja menjadi tidak berguna sama sekali apabila informasi kinerja yang dihasilkan tidak dimanfaatkan dalam memperbaiki pengambilan keputusan.
Pemanfaatan (utilization) informasi kinerja untuk keperluan internal tidak terlepas dari tahap adopsi ukuran kinerja dan tahap menerapkan (implementasi) informasi kinerja untuk pelaporan, alokasi anggaran dan membantu pengambilan keputusan (Julnes dan Holzer, 2001). Pengakuan terhadap kedua tahap ini diperlukan karena kesalahan mengadopsi suatu ukuran kinerja akan membuat informasi kinerja menjadi tidak valid dan tidak dapat diandalkan. Jika tidak mencerminkan kinerja sebenarnya maka informasi kinerja tidak dapat diimplementasikan dalam proses pengambilan keputusan, pemantauan dan evaluasi, serta pengalokasian anggaran. Keputusan mengadopsi suatu ukuran kinerja memerlukan perencanaan yang matang berkaitan dengan kesiapan organisasi dan personel-personel pelaksana program untuk merencanakan ukuran kinerja, melaksanakan kegiatan dan mengumpulkan data kinerja. Tahap adopsi merupakan tahap pengembangan kapasitas organisasi dalam mengembangkan ukuran kinerja dan pengambilan keputusan tentang ukuran kinerja yang akan dipakai atau diadopsi. Sedangkan tahap implementasi, hasil pengukuran dan pengumpulan data atau informasi kinerja dievaluasi dan diterapkan dalam alokasi anggaran, perencanaan kinerja dan perencanaan strategis, pemantauan dan evaluasi serta pelaporan.
Pada kedua tahap pemanfaatan informasi kinerja, organisasi tidak boleh hanya mempertimbangkan faktor-faktor rasional, yaitu ketentuan eksternal dan internal, ketersediaan sumberdaya, orientasi pada tujuan, informasi yang dapat meningkatkan keahlian, namun juga mempertimbangkan pengaruh lingkungan politik, baik kelompok internal organisasi maupun kelompok eksternal serta pengaruh kultur organisasi. Dengan mengakui pengaruh faktor-faktor politik dan kultur organisasi disamping faktor-faktor rasional, maka ukuran kinerja yang dirancang dan diadopsi akan dapat dimanfaatkan dalam memperbaiki pengambilan keputusan.
Beberapa penelitian mengemukakan fakta bahwa ukuran-ukuran kinerja tidak dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan, alokasi anggaran, atau pemantauan program (Julnes danHolzer,2001). Swindell dan Kelly (2002) mengemukakan bahwa hampir 75 % organisasi yang mengumpulkan data kinerja di Amerika Serikat tidak menggunakannya dalam pengambilan keputusan.
Penelitian ini berusaha mengetahui praktik-praktik pengukuran kinerja di instansi pemerintah dan meneliti pengaruh faktor-faktor rasional,politik dan kultur organisasi terhadap pengadopsian dan pengimplementasian suatu ukuran kinerja. Penelitian ini menggunakan kerangka berpikir dari penelitian yang dilakukan oleh Julnes dan Holzer (2001) dan menyesuaikannya untuk kondisi yang ada dalam praktik-praktik pengukuran kinerja di instansi pemerintah Indonesia. Penelitian ini berfokus pada pejabat-pejabat instansi pemerintah (eselon 2,3 dan 4) untuk mengetahui keberadaan ukuran-ukuran kinerja, sikap dan persepsi mereka terhadap ukuran kinerja, dan faktor-faktor kontekstual yang mempengaruhi penggunaan ukuran-ukuran kinerja.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini secara spesifik untuk menganalisis pengaruh signifikansi faktor-faktor rasional terhadap adopsi ukuran kinerja di instansi pemerintah daerah
TELAAH PUSTAKA
1 Kinerja Instansi Pemerintah Daerah
Pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik dalam menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan non finansial. Sistem pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai pengendalian organisasi karena pengukuran kinerja diperkuat dengan menetapkan reward and punishment system.
Topik tentang pengukuran kinerja di sektor publik mendapat perhatian yang cukup besar dari peneliti-peneliti terutama di negara-negara maju. Peneliti- peneliti tersebut mendiskusikan mulai dari manfaat pengukuran kinerja (Wang,2002; Propper dan Wilson;2003), desain pengukuran kinerja yang efektif (Kravchuk dan Schak,1996), resiko pengukuran kinerja (Bruijn,2002) sampai kepada hambatan psikologis terhadap pengukuran dan manajemen kinerja (Behn,2002). Perhatian yang besar terhadap pengukuran kinerja disebabkan oleh opini bahwa pengukuran kinerja dapat meningkatkan efisiensi, keefektifan, penghematan dan produktifitas pada organisasi-organisasi sector publik. Meskipun literatur tentang pengukuran kinerja telah lama ada, namun di organisasi publik, pemanfaatan ukuran-ukuran kinerja masih menjadi sesuatu yang problematik. Terdapat beberapa kesulitan bawaan dalam melakukan pengukuran kinerja dikarenakan karakteristik organisasi publik dan beragamnya stakeholder yang berpengaruh. Kesulitan-kesulitan itu mempengaruhi setiap tahap pengembangan ukuran kinerja dan dalam pemanfaatan informasi ukuran kinerja. Beberapa kesulitan tersebut diantaranya adalah (Wholey,1999;de Bruijn, 2002; Hatry,1999; Kravchuk dan Schack,1996;Rainey,1999)
a. Kesepakatan dalam menentukan indikator kinerja organisasi yang akan diukur.
Karena luasnya dimensi dari ukuran kinerja, maka terdapat kesulitan dalam menentukan dimensi dari kinerja yang akan menjadi fokus pengukuran, apakah berfokus pada input, proses, output atau outcome. Fokus pada salah satu aspek pengukuran kinerja akan menimbulkan efek yang berbeda-beda. Misalnya, apabila fokus pada input, maka organisasi menghargai ambisi namun mengabaikan hasil yang akan dicapai. Demikian pula apabila organisasi fokus pada proses, maka organisasi akan meningkatkan beban kerja tanpa menghiraukan kualitas layanan. Organisasi yang berfokus pada hasil (output) dan outcome juga akan menimbulkan efek negatif, dikatakan oleh de Bruijn (2002) sebagai perilaku strategik, yaitu meningkatkan output agar sesuai dengan kriteria yang ada dan dapat menimbulkan game playing.
b. Kesepakatan atas apa yang menjadi misi, tujuan dan strategi organisasi.
Kesepakatan harus dicapai dengan melibatkan stakeholder yang beragam, padahal stakeholder memiliki pilihan dan kepentingan yang berbeda-beda.
c. Kesiapan organisasi, baik dari sumberdaya, kapasitas organisasi, dalam melaksanakan dan mengevaluasi infromasi kinerja.
Pengukuran kinerja di sector publik mengukur output atau outcome yang sulit diukur karena tidak ada pasar menentukan nilai output atau outcome. Dalam proses menetapkan indikator kinerja, organisasi harus memiliki kemampuan melakukan forecasting untuk menyesuaikan sumberdaya organisasi dengan output dan outcome yang akan dicapai. Untuk melakukan hal itu, diperlukan sumberdaya manusia atau personel yang terlatih dalam merencanakan indikator dan target kinerja, sehingga dapat diukur. Indikator kinerja juga tidak hanya menunjukkan ambisi namun hal yang realistis dapat dicapai organisasi. Keahlian dan sistem informasi yang baik diperlukan dalam mengumpulkan data kinerja. Data kinerja dapat berasal dari catatan organisasi (objective measure) atau yang dilakukan melalui survey (subjective measure). Untuk menghasilkan data kinerja yang valid dan dapat diandalkan maka diperlukan keahlian staf program dan sistem informasi yang memadai.
d. Permasalahan kultur dan komitmen.
Pengukuran kinerja tentunya membawa perubahan ke dalam organisasi. Perubahan ini tentunya akan ditanggapi atau dipersepsikan secara berbeda oleh individu-individu dalam organisasi dan akan membawa perubahan dalam kultur organisasi. Sistem pengukuran kinerja akan membawa hasil apabila pengukuran kinerja dipersepsikan akan membawa dampak baik terhadap perosonil organisasi dan akan mendorong komitmen kepada system pengukuran kinerja. Namun pengukuran kinerja akan menimbulkan konflik, terutama apabila kinerja atau tujuan yang diinginkan tidak dapat dicapai. Hal ini akan menimbulkan komitmen yang rendah terhadap pengukuran kinerja.
e. Dukungan politik.
Organisasi sektor publik tidak bisa melepaskan diri dari interaksi dengan stakeholder dan menutup diri dari masa jabatan pemerintah dan legislative yang terbatas. Konsistensi kebijakan dalam pelaksanaan program dan system pengukuran kinerja serta kepentingan politik merupakan sumber ketidakpastian yang mempengaruhi pengukuran kinerja di sektor publik. Para pimpinan dan anggota organisasi sektor publik akan mengalami kebingungan apabila terjadi ketidakkonsistenan antara kebijakan sebelumnya dengan kebijakan pemerintahan baru, sementara outcome dari pemerintahan sebelumnya belum dapat dirasakan. Fenomena ini menimbulkan keraguan untuk mengadopsi dan mengimplementasikan ukuran kinerja apabila tidak ada aturan tentang konsistensi kebijakan publik.
2. Konsep Kultur Organsiasi
onsep kultur organisasi yang digunakan Hofstede dkk (1990), dalam penelitian lintas budaya antar departemen dalam perusahaan pada dasarnya merupakan pengembangan dari konsep dimensi budaya nasional yang banyak digunakan dalam penelitian-penelitian perbedaan budaya antar negara. Menurutnya antara budaya nasional dan budaya organisasi merupakan fenomena yang identik. Perbedaan kedua budaya tersebut tercermin dalam manifestasi budaya kedalam nilai dan praktek. Perbedaan budaya tingkat organisasi umumnya terletak pada praktek-praktek dibandingkan dengan perbedaan nilai-nilai. Perbedaan budaya organisasi selanjutnya dapat dianalisis pada tingkat unit organisasi dan sub organisasi (Supomo, 1998; dalam Susanti 2002 ).
Hofstede dkk (1990) dalam Susanti (2002) membagi budaya organisasional kedalam 6 dimensi praktis, yaitu: (1) process Oriented vs Result Oriented (2) Employe Oriented vs Job Oriented (3) Parochial vs Proffesional (4) Open System vs Clossed System (5) Loose Control vs Tight Control (6) Normative vs Pragmatig
3. Kecukupan Anggaran
Kecukupan anggaran adalah tingkat persepsi masing-masing manajer pusat pertanggungjawaban bahwa sumber-sumber yang dianggarakan untuk unit organisasinya mencukupi untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuannya (Nouri dan Parker, 1998 dalam Supriyono, 2004).
Kecukupan anggaran adalah tingkat persepsi individual bahwa sumber-sumber yang dianggarakan mencukupi untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas yang diperlukan. Gagasan tersebut dapat dibedakan dari gagasan slack anggaran. Slack anggaran (kekenduran anggaran atau anggaran yang “aman”) adalah kesenjangan bawahan untuk menyusun usulan anggaran biaya yang jumlahnya berlebihan (atau untuk anggaran pendapatan dan laba jumlahnya terlalu rendah) dibandingkan dengan anggaran yang sewajarnya diperlukan. Dengan kata lain, slack anggaran terdiri dari dua komponen yaitu:
1. Sumber-sumber anggaran yang berlebihan.
2. Hasil dari bias yang sengaja dalam meramal anggaran (dimaksudkan agar tujuan kinerja mudah dicapai).
Kecukupan anggaran tidak harus melibatkan sumber-sumber yang berlebihan atau bias yang disengaja dalam peramalan.
dengan dimensi employee oriented) dengan keberhasilan suatu perusahaan,. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi budaya organisasi yang memiliki kaitan erat dengan praktik pembuatan keputusan partisipatif adalah employee oriented vs job oriented.
4. Pemanfaatan Informasi Kinerja
Proses pemanfaatan (Utilization process) merupakan suatu proses perubahan dan proses keperilakuan dalam pengambilan keputusan yang meliputi tahap-tahap adopsi dan implementasi (Beyer dan Trice,1982; Cronbach,dkk,1980; Stehr,1992; Julnes dan Holzer,2001). Pemanfaatan informasi kinerja juga dapat dibagi dalam dua tahap tersebut, yaitu tahap adopsi dan tahap implementasi hasil pengukuran kinerja (Julnes dan Holzer, 2001). Tahap adopsi ukuran kinerja merupakan tahap pengembangan ukuran-ukuran kinerja, yaitu pengembangan ukuran- ukuran kinerja input,output,outcome dan efisiensi dengan mempertimbangkan kapasitas dan sumberdaya yang ada di organisasi. Tahap implementasi merupakan tahap menggunakan ukuran kinerja untuk perencanaan strategis, perencanaan kinerja alokasi anggaran, pemantauan, evaluasi dan pelaporan. Pembagian proses pemanfaatan informasi kinerja menjadi dua tahap disebabkan oleh pengguna dan kepentingan yang berbeda dalam kedua tahap tersebut. Selain itu, proses pengambilan keputusan pada kedua tahap pemanfaatan informasi kinerja ini dipengaruhi oleh faktor-faktor rasional dan politik serta kultur organisasi (Julnes dan holzer,2001; Morrow dan Hint,2000; Behn,2002) yang memiliki pengaruh-pengaruh yang berbeda pada kedua tahap. Pengakuan terhadap kedua tahap ini memungkinkan organisasi mengatasi hambatan-hambatan pengukuran kinerja.
a Adopsi ukuran kinerja
Proses pengadopsian suatu ukuran kinerja merupakan suatu keputusan yang didasarkan pada faktor-faktor rasional (Julnes dan Holzer,2001), dimana organisasi menilai kemampuannya untuk melaksanakan suatu ukuran kinerja. Faktor-faktor rasional itu adalah informasi, sumberdaya, orientasi tujuan (goal), dan ketentuan eksternal dan internal (Julnes dan Holzer, 2001). Informasi tentang ukuran kinerja dapat diperoleh melalui media, peraturan-peraturan, buku manual, internet, pelatihan, workshop, seminar. Informasi ini dapat meningkatkan kemampuan teknis pelaksana program atau kegiatan. Semakin banyak informasi yang diperoleh tentang pengukuran kinerja yang benar, maka organisasi semakin memiliki kemampuan teknis untuk mengadopsi sistem pengukuran kinerja. Faktor rasional lainnya adalah ketersediaan sumberdaya yang dikhususkan untuk pengukuran kinerja. Apabila terdapat sumberdaya, yaitu staf dan dana, yang dikhususkan untuk mengembangkan, mengumpulkan dan mengevaluasi kinerja maka akan berdampak pada pengadopsian suatu ukuran kinerja. Staf yang kapable dan tersedianya sumberdaya keuangan sangat penting dalam mengembangkan dan memantau ukuran kinerja (Wang, 2002).
Orientasi tujuan (goal), yaitu konsensus terhadap tujuan dari setiap program. Kesepakatan terhadap tujuan dari setiap program dan kegiatan yang akan dilaksanakan akan membawa pada tujuan kinerja (Performance goal). Orientasi tujuan ini memungkinkan organisasi untuk mengadopsi suatu ukuran kinerja. Ketentuan eksternal dan internal merupakan peraturan yang mengharuskan instansi mengadopsi ukuran kinerja. Peraturan itu bisa berasal dari luar (mandat dari UU, Peraturan Pemerintah, PERDA atau BAWASDA dan LAN/ BPKP) maupun kebijakan manajemen atau pimpinan instansi. Keseluruhan Faktor-faktor rasional itu diprediksi mempengaruhi organisasi dalam mengadopsi suatu ukuran kinerja. Penelitian Julnes dan Holzer (2001) menemukan bahwa faktor-faktor rasional mempengaruhi organisasi Pemerintah dalam keputusan mengadopsi ukuran kinerja. Penelitian Wang (2002) juga mengindikasikan bahwa ketersediaan sumberdaya, dan kesepakatan akan tujuan memungkinkan organisasi untuk mengembangkan ukuran Meskipun faktor rasional merupakan hal yang pertama dipertimbangkan dalam membuat keputusan, namun perlu disadari bahwa organisasi, terutama organisasi sector publik beroperasi dan berinteraksi dalam lingkungan dimana banyak pihak yang terlibat. Pembuatan keputusan dalam organisasi tidak terlepas dari pengaruh politik organisasi (Morrow dan Hitt, 2000) yang berasal dari luar dan dalam organisasi. Selanjutnya, Fisher (1986 dalam Julnes dan Holzer,2001) menyatakan bahwa kerangka rasional harus juga ditempatkan juga dalam kerangka politik. Politik dalam organisasi muncul dari tidak tercapainya kesepakatan dari unsur-unsur yang ada dalam organisasi yang berpotensi menimbulkan konflik (Morrow dan Hitt,2000). Konflik ini biasanya diselesaikan dengan proses politik internal seperti koalisi dan bargaining dan memberikan insentif dan penghargaan. Pihak-pihak yang memiliki kekuasaan (power) dalam organisasi, seperti pimpinan organisasi dan manajemen lainnya, berkesempatan mengumpulkan simpati untuk mempertahankan keyakinannya.
b. Implementasi informasi kinerja
Pengukuran kinerja tidaklah berhenti hanya ketika organisasi telah mengadopsi ukuran kinerja. Pengukuran kinerja tidak memiliki manfaat apabila informasi kinerja yang dihasilkan tidak dimanfaatkan atau diimplementasikan. Tahap berikutnya setelah ukuran kinerja diadopsi adalah memanfaatkan ukuran kinerja untuk perencanaan strategis, perencanaan kinerja tahunan, alokasi anggaran, monitoring, evaluasi dan pemantauan serta melaporkan informasi tersebut kepada pihak-pihak baik secara vertikal (kepada atasan) maupun secara horisontal (parlemen). Implementasi ukuran kinerja dipengaruhi oleh faktor politik dan kultur organisasi (Julnes dan Holzer,2001; Wang, 2002; Behn,2002;Rainey,1999). Faktor politik dalam organisasi, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi, berpengaruh terhadap implementasi informasi pengukuran kinerja. Dukungan dari stakeholder internal dan pihak legislatif dan masyarakat agar informasi kinerja dimanfaatkan untuk perencanaan strategis, alokasi anggaran, pengendalian dan pemantauan serta pelaporan akan semakin meningkatkan pemanfaatan informasi pengukuran kinerja. Pemanfaatan ukuran kinerja juga dipengaruhi oleh sikap pelaksana program terhadap ukuran kinerja. Pemanfaatan informasi kinerja akan dapat berjalan dengan baik apabila pelaksana program atau personil program merasa bahwa informasi kinerja tersebut dapat memperbaiki kinerja organisasi dan tidak dimaksudkan untuk “menyingkirkan” mereka. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa personil organisasi akan mendukung implementasi ukuran kinerja apabila tidak berdampak buruk terhadap karir mereka, misalnya pemberian hukuman atau sanksi, dan sebaliknya apabila berakibat buruk terhadap karirnya (Behn,2002).
Dalam tahap implementasi, penelitian Julnes dan Holzer (2001) menemukan bahwa tidak semua faktor rasional berpengaruh dalam implementasi kinerja. Faktor sumberdaya dan informasi merupakan dua faktor yang berpengaruh dalam tahap implementasi. Hal ini dikarenakan organisasi masih memerlukan informasi dan sumberdaya untuk mengevaluasi dan menganalisa kinerja agar dapat dimanfaatkan dalam pengambilan keputusan. Selain faktor-faktor rasional tersebut, tujuan yang telah disepakati merupakan prasyarat utama untuk menggunakan informasi kinerja (Wholey, 1999). Pendapat ini didukung penelitian Wang (2002) bahwa performance goal berdampak pada proses perencanaan strategik dan proses manajemen dan proses evaluasi kinerja karyawan. Dengan demikian, selain faktor informasi dan faktor sumberdaya, orientasi tujuan juga berpengaruh terhadap implementasi informasi kinerja. Dari uraian diatas dapat diduga bahwa faktor-faktor politik dan kultur organisasi berpengaruh dalam implementasi informasi pengukuran kinerja. Demikian juga faktor-faktor rasional, yaitu sumberdaya, informasi, dan orientasi tujuan, juga diduga berpengaruh signifikan terhadap tahap implementasi. Untuk itu,
5. Pengaruh Faktor-Faktor Rasional Terhadap Adopsi Kinerja
Dalam konteks pengukuran kinerja, peran pimpinan dan level manajemen sangat penting dalam meraih kesepakatan internal organisasi untuk mengadopsi suatu ukuran kinerja. Pengadopsian suatu ukuran kinerja merupakan suatu proses internal dalam organisasi. Meskipun stakeholder eksternal juga berpengaruh terhadap instansi pemerintah, namun dalam mengadopsi suatu ukuran kinerja stakeholder eksternal kurang berperan. Penelitian Wang (2002) menunjukkan bahwa komunikasi dengan stakeholder eksternal, yaitu legislatif dan warga negara, terjadi ketika proses dengar pendapat dalam proses penetapan anggaran, perencanaan strategis dan lainnya dimana instansi pemerintah mengkomunikasikan informasi hasil pengukuran kinerja. Penelitian Julnes dan Holzer (2001) juga menemukan bahwa pengaruh kelompok eksternal tidak signifikan dalam pengadopsian suatu ukuran kinerja. Kultur organisasi merupakan sekumpulan nilai yang melekat dalam organisasi dan menjadi dasar bagi personil organisasi dalam menghadapi permasalahan yang timbul. Beberapa asersi menyatakan bahwa kultur organisasi dalam birokrasi pemerintah cenderung resisten terhadap perubahan (resistance to change) dan lambat menerima inovasi (Rainey,1999). Persepsi personil terhadap suatu ukuran kinerja akan mempengaruhi apakah ukuran tersebut akan diadopsi. Sikap menolak terhadap suatu ukuran kinerja cenderung menghambat pengadopsian sedangkan sikap yang tidak resisten cenderung membuat pengadopsian suatu ukuran Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diduga bahwa pengadopsian suatu ukuran kinerja oleh organisasi publik dipengaruhi oleh faktor-faktor rasional (sumberdaya, informasi, orientasi tujuan, Ketentuan eksternal dan internal) dan beberapa faktor-faktor politik (kelompok internal dan sikap). Untuk itu, dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
H1 : Faktor-faktor rasional seperti sumber daya, informasi dan orientasi tujuan berpengaruh signifikan terhadap adopsi ukuran kinerja di instansi Pemerintah Daerah.
6. Pengaruh Kultur Organisasi dan Kinerja Instansi Pemerintah Daerah
Menurut Holmes dan Marsden (1996) kultur organisasi mempunyai pengaruh terhadap perilaku, cara kerja dan motivasi para manajer dan bawahannya untuk mencapai kinerja organisasi. Berdasarkan hasil penelitian yang berkaitan dengan kultur organisasi , ditentukan bahwa dimensi kultur mempunyai pengaruh terhadap penyusunan anggaran dalam meningkatkan kinerja instansi pemerintah daerah.
Hubungan antar variabel tersebut tersebut dapat dirumuskan dalam hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah:
H2: Kultur organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja instansi pemerintah daerah.
7. Pengaruh Kecukupan Anggaran Terhadap Kinerja Instansi Pemerintah Daerah
Beberapa penelitian di bidang akuntansi mengemukakan bahwa para manajer bawah mempunyai informasi yang lebih akurat daripada para atasannya mengenai kondisi-kondisi lokal pusat pertanggungjawaban yang dipimpinnya. Penelitian ini didasarkan pada gagasan bahwa para manajer bawah (manajer pusat pertanggunjawaban) seringkali memiliki informasi yang lebih baik mengenai level anggaran yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan aktivitas-aktivitas unit organisasinya daripada atasannya (manajer puncak). Oleh karena itu, para manajer bawahan akan berusaha untuk memberikan informasi tersebut ke dalam usulan anggarannya untuk menjamin bahwa mereka memperoleh sumber-sumber yang mencukupi untuk melaksanakan aktivitas-aktivitasnya. Anggaran partisipatif memungkinkan para bawahan untuk memasukkan informasi tersebut ke dalam usulan anggarannya daripada nonpartisipatif sehingga mereka tercapai kecukupan anggaran. Berdasar gagasan ini dapat disusun hipotesis sebagai berikut:
H3 : Kecukupan anggaran mempengaruhi implementasi kinerja instansi Pemerintah daerah
8. Kerangka Penelitian
Berdasarrkan telaah teoritis yang telah diuraikan di muka tentang pengaruh pengaruh faktor-faktor rasional, kultur, kecukupan anggaran terhadap kinerja instansi pemerintah daerah, maka model penelitian yang dipakai dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1
Kerangka Peneltian











METODE PENELITIAN
1. Pemilihan sampel dan pengumpulan data
Penelitian dilakukan di Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah Kota Semarang , Pemerintah Kabupaten Semarang , Pemerintah Kabupaten Demak, yaitu pada Instansi Pemerintah Daerah (Dinas dan Badan). Instansi Pemerintah Daerah tersebut dipilih secara acak (simple random sampling) agar dapat mencerminkan keadaan tingkat adopsi dan implementasi ukuran kinerja di instansi daerah. Untuk menanyakan praktik pengukuran kinerja di instansi maka peneliti mengirimkan kuisioner kepada pejabat eselon 2, 3 dan 4 di masing-masing instansi yang dipilih.
Penentuan sampel ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Hussein Umar, 1999) :


Keterangan :
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
e = error (tingkat kesalahan yang masih dapat ditoleransi)
Dengan tingkat kesalahan 10 % maka penentuan sampel dalam penelitian ini dapat dihitung sebagai berikut :








Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus Slovin, didapatkan jumlah sampel sebesar 84.48 atau dibulatkan menjadi 85 sampel yang menjadi responden.
Untuk mendapatkan data yang relevan sehingga dapat dijadikan landasan dalam proses analisis, maka diperlukan adanya metode pengumpulan data. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah :
1. Metode Kuesioner
Metode kuesioner merupakan metode atau cara pengumpulan data dengan memberikan daftar pertanyaan yang terdiri dari 4 instrumen, yaitu : partisipasi penyusunan anggaran, gaya kepemimpinan, pelimpahan wewenang serta kinerja manajerial yang disampaikan pada responden secara langsung, sehingga diharapkan tingkat pengembaliannya besar.
2. Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan metode pengumpulan data dengan cara mempelajari atau menelaah buku literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.

2. Defenisi Operasional dan pengukuran Variabel-variabel penelitian
Variabel dependen
Adopsi:
Tahap adopsi adalah suatu tahap dimana organisasi mengembangkan suatu ukuran kinerja. Faktor ini dibentuk dari jawaban empat pertanyaan mengukur seberapa sering ukuran input (ekonomi), output, outcome, dan efisiensi dikembangkan untuk program-program di organisasi. Diukur dalam lima skala Likert.
Variabel Independen
Faktor-faktor rasional terdiri dari:
1. Sumber daya
Organisasi publik yang menerapkan pengukuran kinerja memberi perhatian terhadap tersedianya sumberdaya, memiliki staf yang dikhususkan untuk mengevaluasi kinerja, dan mengumpulkan data yang memadai. Variabel ini diukur dengan pertanyaan tingkat sumberdaya yang dimiliki, tingkat staf yang digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja dan pengumpulan data, tingkat keterlibatan staf dan instansi lain dalam penggunaan kinerja, tingkat pengumpulan data dan tingkat benchmarking yang dilakukan instansi. Masing-masing pertanyaan diukur dengan skala Likert mulai dari 1, tidak ada sampai 5, tinggi..
2. Informasi
Dalam mengadopsi pengukuran kinerja, karyawan staf atau non staf harus memiliki kemampuan teknis tentang bagaimana melakukan dan mengimplementasikan pengukuran kinerja. Variabel informasi memiliki tiga dimensi, yaitu akses kepada informasi atau publikasi, asistensi atau bantuan konsultan/ahli, pelatihan, dan seminar. Masing-masing dimensi diukur dengan menggunakan skala Likert (5 skala).
3. Orientasi tujuan (goal):
Konsensus terhadap tujuan dari setiap program apabila setiap program memiliki tujuan, adopsi ukuran kinerja semakin mungkin terlaksana. Variabel ini memiliki dimensi diarahkan oleh tujuan dan sasaran, strategi-strategi dikomunikasikan, perumusan misi yang mendorong efisiensi, kejelasan tujuan dan sasaran. Masing-masing diukur dengan skala Likert (5 skala).
4. Kutlur Organisasi
Kultur organisasi merupakan nilai-nilai dai keyakinan yang dimiliki para anggota organisasi yang dimanifestaikan dalam bentuk norma-norma perilaku para individu atau kelompok organisasi yang bersangkutan (pendekatan dimensi praktek) (Hofstede at.al 1990). Secara spesifik variable budaya menjelaskan orientasi budaya perusahaan pada level departemen atau bagian.. Pengukuran variable dengan instrument yang dikembangkan Supomo (1998)berdasarkan analisi factor pada instrumen Hofstede at.al (1990)
5. Kecukupan Anggaran
Kecukupan anggaran adalah tingkat persepsi masing-masing manajer pusat pertanggungjawaban bahwa sumber-sumber yang dianggarakan untuk unit organisasinya mencukupi untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuannya (Nouri dan Parker, 1998). Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel ini diadopsi dari R.A. Supriyono (2004) yang dikembangkan oleh Nouri dan Parker (1998). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 3 (tiga) item pertanyaan yang dipakai untuk mengukur kecukupan anggaran dengan menggunakan skala 5 (lima) poin, dimana skor terendah (poin 1) menunjukkan sangat setuju anggarannya tidak mencukupi, sedangkan skor tinggi (poin 7) menunjukkan sangat setuju anggarannya mencukupi.
3. Metode analisis data
a. Analisis Statistik Deskriptif
Analisis statistik deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran mengenai demografi responden (umur, jenis kelamin, jabatan, pendidikan dan pengalaman kerja) dan deskriptif mengenai variabel-variabel penelitian ini dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi absolute yang menunjukkan angka rata-rata, median, kisaran dan deviasi standar.
b. Uji Kualitas Data
Dalam suatu penelitian, data mempunyai kedudukan yang paling tinggi, karena merupakan penggambaran variabel yang diteliti dan berfungsi sebagai pembuktian hipotesis. Oleh karena itu, benar tidaknya data sangat menentukan kualitas hasil penelitian ini. Ada 2 konsep yang digunakan untuk mengukur kualitas data, yaitu uji validitas dan uji reliabilitas.
1. Uji Validitas
Imam Ghozali (2005) mengemukakan bahwa uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau tidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid, apabila pertanyaan kuesioner mampu mengungkapkan sesuatu yang diukur oleh kuesioner tersebut. Jadi, uji validitas tersebut digunakan untuk mengukur apakah pertanyaan dalam kuesioner yang sudah dibuat betul-betul dapat mengukur apa yang hendak diukur. Nilai validitas dilihat dari output Cronbach Alpha pada kolom Correlated Item-Total Correlation. Apabila nilai r hitung lebih besar dari r tabel pada degree of freedom (df) = n-2 maka indikator tersebut dinyatakan valid (Imam Ghozali, 2005).
2. Uji Reliabilitas
Setelah uji validitas, maka dilakukanlah uji reliabilitas yang bertujuan untuk mengetahui sejauhmana hasil suatu pengukuran tetap konsisten apabila pengukuran dilakukan 2 kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat pengukuran yang sama pula. Atau dengan kata lain, suatu kuesioner dikatakan reliabel jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten dari waktu ke waktu. Dalam penelitian ini, uji reliabilitas dilakukan dengan menghitung Cronbach Alpha dari masing-masing instrumen dalam suatu variabel. Suatu instrumen dikatakan andal (reliable) apabila memiliki Cronbach Alpha > 0,60 (Nunnally, 1978 dalam Imam Ghozali, 2005).
c. Uji Asumsi Klasik
1. Uji Multikolinieritas
Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel bebas. Jika variabel bebas saling berkorelasi, maka variabel-variabel ini tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel bebas yang nilai korelasi antar sesama variabel bebas sama dengan nol (Imam Ghozali, 2005).
Uji multikolinieritas dilakukan dengan melihat nilai tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF), dengan dasar pengambilan keputusan sebagai berikut :
Jika nilai tolerance mendekati angka 1 dan nilai VIF dibawah 10, maka tidak terjadi masalah multikolinieritas.
Jika nilai tolerance tidak mendekati angka 1 dan nilai VIF diatas 10, maka tidak terjadi masalah multikolinieritas.
2. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas.
Salah satu cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas adalah dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel terikat (ZPRED) dengan residualnya (SRESID). Deteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara SRESID dan ZPRED dimana sumbu Y adalah Y yang telah diprediksi, dan sumbu X adalah residual (Y prediksi – Y sesungguhnya) yang telah di-studentized (Imam Ghozali, 2005).
Dasar pengambilan keputusan :
1. Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas.
2. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar diatas di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.
Dengan demikian maka model regresi yang baik adalah yang tidak terjadi heteroskedastisitas dimana data akan berpencar dan tidak membuat suatu pola atau tren garis tertentu.
3. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Untuk mendeteksi terjadinya otokorelasi atau tidak dalam suatu model regresi dilakukan dengan menggunakan Durbin Watson (Algifari, 1997). Cara pengujiannya dengan membandingkan nilai Durbin Watson (d) dengan dl dan du tertentu atau dengan melihat table Durbin Watson yang telah ada klasifikasinya untuk menilai perhitungan d yang diperoleh.
4. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal ataukah tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal (Ghozali, 2005).
Salah satu cara termudah untuk melihat normalitas adalah melihat histogram yang membandingkan antara data observasi dengan distribusi yang mendekati distribusi normal. Namun demikian hanya dengan melihat histogram, hal ini bisa menyesatkan khususnya untuk jumlah sampel kecil. Metode yang lebih handal adalah dengan melihat normal probability plot yang membandingkan distribusi kumulatif dari distribusi normal. Pada dasarnya normalitas dapat dideteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik atau dengan melihat histogram dari residualnya.
Dasar pengambilan keputusan :
1. Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas.
2. Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan atau tidak mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogram tidak menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.
5. Uji Hipotesis
Masing-masing hipotesis akan diuji dengan alat analisis regresi berganda (multiple regresion) yaitu dengan persamaan:
Y= a0+bX1+bX2+bX3+bX4+ bX5+ e
Dimana:
Y= Tahap Adopsi
Variabel rasional
X1 = Sumberdaya
X2= Informasi
X3= Orientasi tujuan
X4= Faktor kecukupan anggaran
X5= Faktor Kultur Organisasi
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
1 Respon Rate Kuesioner
Responden Rate kuesioner ini merupakan upaya yang dilakukan oleh penulis untuk menyeleksi kuesioner yang sekiranya dapat dipakai dan kuesioner yang tidak dapat dipakai. Jumlah kuesioner yang dikirim secara langsung dalam penelitian ini adalah 85 eksemplar. Pengiriman dan pengumpulan kuesioner dilakukan selama 3 bulan. Perhitungan tingkat pengembalian kuesioner dapat dilihat pada data berikut ini
- Julah kuesioner yang dikirim = 100 kuesioner
- Kuesioner yang direspon = 82 kuesioner
- Kuesioner yang tidak direspon = 18 kuesioner
- Kuesioner yang tidak dapat digunakan = 3 kuesioner
- Total kuesioner yang dapat digunakan = 79 kuesioner
- Tingkat pengembalian (respond rate) = 82 x 100 % = 82,%
100
- Tingkat pengembalian yang digunakan = 79 x 100 % = 79%
(usable respond rate) 100

Respoden yang dapat dijadikan sampel dalam penelitian harus memiliki kriteria sebagai manajer (Kabag), atau seseorang yang memiliki posisi penting dalam sebuah Instansi/Dinas. Berikut ini penulis sajikan profil responden yang menjadi sampel berdasarkan umur, jenis kelamin, jabatan, pendidikan dan pengalaman kerja.
2. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif ini dimaksudkan untuk menggambarkan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian yaitu variabel rasional terdiri dari Sumberdaya, Informasi, orientasi tujuan, kultur organsisasi, kecukupan anggaran dan adopsi ukran kinerja di instansi Pemerintah daerah. Berdasarkan hasil kuesioner yang diterima, tabel di bawah ini memperlihatkan kisaran teoritis .


Tabel 4.5


skor jawaban responden atas variabel rasional yang terdiri dari sumber daya berkisar 9 sampai 35 dengan standar deviasi 5.749 dan nilai modus 26 Nilai tersebut menunjukkan responden cenderung menjawab secara moderat saja. Untuk variabel penggunaan informasi skor jawaban responden berkisar 5 sampai 13 dengan standar deviasi 2.02 dan nilai modus 8. Nilai modus yang mendekati skor maksimum kisaran teoritis ini menunjukkan bahwa responden merasakan akses informasi atau publikasi, asistensi atau bantuan konsultan/ahli, pelatihan, dan seminar.. Variabel orientasi tujuan skor jawaban responden antara 6 sampai dengan 17 dengan standar deviasi 2.14 dan nilai modus 11. Nilai modus yang mendekati skor maksimum kisaran teoritis tersebut menunjukkan kecenderungan apabila setiap program memiliki tujuan adopsi ukuran kinerja. semakin mungkin terlaksana. Untuk jawaban responden atas kultur organisasi memberikan skor paling tinggi 40 dan terendah 16 dengan standar deviasi 3.456 dan nilai modus 16, hal ini memberi sinyal bahwa jawaban responden berkecenderungan bahwa kultur dapat mempengaruhi mereka untuk mengadopsi dalam mengukur kinerja. Untuk jawaban responden atas variabel kecukupan anggaran berkisar 4 sampai 21dengan standard deviasi 3.416 dan nilai modus 17. Nilai tersebut menunjukkan bahwa responden berkecenderungan memanfaatkan kecukupan anggaran guna mengadopsi ukuran kinerja.
3. Hasil Uji Kualitas Data
Hasil Uji Validitas
Kualitas data dapat diuji dengan menggunakan uji validitas dan reliabilitas.Uji reliabilitas digunakan cronbach alpha dengan tingkat alpha > 0.60 (Nunnaly, 1978). Sedangkan Uji validitas digunakan menghitung R kritis masing-masing butir pertanyaan dengan butir skor.Hasil pengujian reliabilitas dan validitas secara rinci disajikan dalam tabel 4.3 dan 4.4 (terlampir)
Hasil Uji Asumsi Klasik
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui data berdistribusi normal. Berdasarkan gambar 4.1 dapat diketahui bahwa semua data menyebar mengikuti garis normalitas.
Gambar 4.1
Uji Normalitas Data

Sedangkan Hasil Uji Heterokedastisitas berdasrkan Gambar 4.2 terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak serta menyebar baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y tidak teratur dan tidak membentuk pola tertentu, maka dapat disimpulkan bahwa pada uji ini tidak terjadi problem heterokedastisitas pada model regresi.
Gambar 4.2
Uji HEterokedastisitas

Sedangkan hasil Uji Multikolinearitas berdasrkan tabel 4.7 dapat diketahui bahwa nilai Tolerance X1, X2 dan X3 lebih besar dari 0,1. Selain itu apabila dilihat dari nilai VIF-nya, ternyata rata-rata variabel bebas memiliki nilai VIF yang kurang dari 10 sehingga dapat dikatakan bahwa hasil analisis terhadap ke-tiga variabel (X1, X2 dan X3) di atas tidak terjadi problem Multikolinearitas, artinya persamaan model regresi tersebut memiliki hubungan yang sempurna dan dapat sebagai alat analisis lebih lanjut
4. Pengujian Hipotesis Pertama
Untuk mengetahui adanya pengaruh signifikan faktor-faktor rasional seperti sumber daya, informasi dan orientasi tujuan terhadap adopsi ukuran kinerja di instansi Pemerintah Daerah. digunakan uji regresi berganda. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan diperoleh nilai-nilai yang tercantum dalam tabel 4.7 yaitu
Tampak bahwa Faktor-faktor rasional seperti sumber daya, informasi dan orientsi tujuan berpengaruh signifikan terhadap adopsi ukuran kinerja, hal ini terlihat dari nilai signifikansi ketiga faktor tersebut lebih kecil dari nilai 5%. Dengan demikian hipotesis 1 yang menyatakan faktor-faktor rasional secara signifikan mempengaruhi adopsi ukuran kinerja tidak dapat ditolak Hasil ini mendukung penelitian dari Lauerensius dan Halim (2005) yang membuktikan bahwa faktor-faktor rasional berpengaruh signifikan terhadap adopsi ukuran kinerja instansi pemerintah daerah.
Tabel 4.6
Hasil Analisis Regresi Berganda

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig. Collinearity Statistics
B Std. Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) -2.918 1.138 -2.564 .012
SD .126 .051 .313 2.496 .014 .108 9.229
IN -.056 .049 -.049 -1.134 .050 .923 1.084
OT -.009 .046 -.008 -.187 .050 .935 1.070
KO .600 .030 .895 20.029 .000 .856 1.168
KA -.255 .084 -.375 -3.043 .003 .112 8.912
a Dependent Variable: AD

4. Pengujian Hipotesis Ke dua
Untuk mengetahui adanya pengaruh signifikan kultur organisasi terhadap adopsi ukuran kinerja di instansi Pemerintah Daerah. digunakan uji regresi berganda. Berdasarkan hasil pengujian tabel 4.7 tampak bahwa kultur organisasi berpengaruh signifikan terhadap adopsi ukuran kinerja, hal ini terlihat dari nilai signifikansi faktor kultur organisasi sebesar 0.000 nilai tersebut lebih kecil dari nilai signifikansi 5%. Dengan demikian hipotesis 2 yang menyatakan bahwa kultur organisasi secara signifikan mempengaruhi adopsi ukuran kinerja tidak dapat ditolak Hasil ini mendukung penelitian dari Holmes dan Marsden (1996) bahwa kultur organisasi mempunyai pengaruh terhadap perilaku, cara kerja dan motivasi para manajer dan bawahannya untuk mencapai kinerja organisasi.
5. Pengujian Hipotesis Ke tiga
Untuk mengetahui adanya pengaruh signifikan kecukupan anggaran terhadap adopsi ukuran kinerja di instansi Pemerintah Daerah. digunakan uji regresi berganda. Berdasarkan hasil pengujian tabel 4.7 tampak bahwa kecukupan anggran berpengaruh signifikan terhadap adopsi ukuran kinerja, hal ini terlihat dari nilai signifikansi faktor kecukupan anggaran sebesar 0.003 nilai tersebut lebih kecil dari nilai 5%. Dengan demikian hipotesis 3 yang menyatakan bahwa kecukupan anggaran secara signifikan mempengaruhi adopsi ukuran kinerja tidak dapat ditolak Hasil ini mendukung penelitian dari Nouri dan Parker, (1998) (dalam Supriyono, 2004). bahwa kecukpupan anggaran mempunyai pengaruh terhadap para manajer dan bawahannya untuk menyusun anggaran guna mencapai kinerja organisasi.
KESIMPULAN DAN SARAN
1 Kesimpulan
Penelitian ini berhasil membuktikan beberapa faktor-faktor rasional, yaitu sumberdaya, informasi dan orientasi tujuan, berpengaruh secara signifikan terhadap adopsi ukuran kinerja di Instansi Pemerintah. Demikian pula dengan faktor kultur dan faktur kecukupan anggaran yang membuktikan terdapat pengaruh signifikan terhadap adopsi inukuran kinerja di Instansi Pemerintah. Daerah. Kebijakan mengadopsi suatu ukuran kinerja di instansi Pemerintah lebih dipengaruhi oleh mandat atau ketentuan dari luar instansi (misalnya Peraturan Pemerintah, Instruksi Presiden, PERDA) daripada kebijakan pimpinan instansi (ketentuan internal).
Penelitian ini juga menemukan variabel-variabel sumber daya berupa Organisasi publik yang menerapkan pengukuran kinerja memberi perhatian terhadap tersedianya sumberdaya, memiliki staf yang dikhususkan untuk mengevaluasi kinerja, dan mengumpulkan data yang memadai. Dismping itu variabel Informasi berupa karyawan staf atau non staf harus memiliki kemampuan teknis tentang bagaimana melakukan dan mengimplementasikan pengukuran kinerja. Variabel orintasi tujuan memberikan dampak terhadap adopsi ukuran kinerja, dimana konsensusnya terhadap tujuan dari setiap program maka ukuran kinerja semakin terlaksana demikian pula dengan kejelasan tujuan dan sasaran, strategi-strategi yang dikomunikasikan akan memberikan pengaruh yang tinggi terhadap pengukuran kinerja dari instansi pemerintah daerah
Pengembangan ukuran kinerja sangat berpengaruh dalam pengadopsian ukuran kinerja. Hal ini terlihat dari Variabel kultur organisasi memberikan dampak terhadap pengadopsian ukuran kinerja. Kultur para atasan cenderung mempertahankan pegawai yang berprestasi di departemennya, tidak memberikan petunjuk kerja yang jelas kepada pegawai baru, lebih tertarik pada hasil pekerjaan dibandingkan pada orang yang mengerjakannya akan menyebabkan berpengaruhnya pengadopsian ukuran kinerja bagi instansi Pemerintah daerah.
Variabel kecukupan anggaran meberikan dampak terhadap adopsi pengukuran kinerja dari instansi pemerintah daerah, hal ini dikarenakan bahwa kepastian anggaran yang telah disusun tersebut memungkinkan untuk dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan.
2. Saran
Agar pemanfaatan informasi kinerja dapat meningkatkan akuntabilitas, trasparansi, perubahan perilaku dan peningkatan kinerja instansi maka peneliti menyarankan:
a. Agar informasi kinerja dapat bermanfaat bagi perencanaan strategis dan kinerja, alokasi sumberdaya, pemantauan dan evaluasi serta pelaporan, maka dalam pengembangan suatu ukuran kinerja sebaiknya Pimpinan instansi secara aktif mengeluarkan kebijakan internal tentang prosedur pengembangan ukuran kinerja yang sesuai dengan sifat kegiatan dan program serta kemampuan organisasi. Organisasi tidak boleh hanya mengandalkan ketentuan yang berasal dari luar organisasi.
b.. Dukungan dari stakeholder eksternal sangat dibutuhkan untuk mendorong instansi mengembangkan ukuran kinerja yang baik dan memanfaatkan hasil pengukuran kinerja untuk meningkatkan kualitas layanan dan menciptakan efisiensi. Dukungan dapat berupa pemanfaatan informasi kinerja oleh DPRD untuk pengambilan

3 komentar:

  1. selamat malam saya Dewy Maulidiyah dari STIE PGRI Dewantara Jombang, saya sedang menyusun skripsi Pengaruh faktor-faktor rasional, politik dan kultur organisasi terhadap pemanfaatan informasi kinerja instansi pemerintah daerah, saya membutuhkan referensi atau acuan yang bpk gunakan dalam menyusun skripsi. mohon bantuanya bpk terimakasih

    BalasHapus
  2. pagi mas..saya dewy, saya mintak referensi atau buku acuan dari penulis dalam menyusun skripsi. mohon bantuanya terima kasih

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus